Sunday, October 24, 2010

Dari Umar bin Abdul Aziz (rahimahullah)

Suatu ketika Umar bin Abdul Aziz (rahimahullah) mengurusi jenasah keluarganya. Ketika mayat telah ditanam ke liang lahat dam tanah sudah dimampatkan, Umar menghadap orang-orang yang bertakziah sambil berkata, “Sesungguhnya kuburan ini memanggilku dari belakang. Maukah kalian kuberi tahu apa yang ia katakana kepadaku?”

Kuburan itu berkata, “Aku bakar kafannya, kurobek badannya dan kusedot darahnya serta kukunyah dagingnya. Maukah kau kuberitahu apa yang kuperbuat dengan anggota badannya? “Tentu,” jawabku. “Aku cabut (satu per satu dari) telapak ke tangannya, lalu dari tangan ke lengan, dan dari lengan menuju pundak. Lalu kucabut pula lutut dari pahanya. Dan pada dari lututnya. Kucabut pula lutut itu dari betis. Dari betis menuju telapak kakinya.”

Lalu Umar bin Abdul Aziz menangis, dan berkata, “Ketahuilah, umur dunia hanya sedikit. Kemuliaan di dalamnya adalah kehinaan. Pemudanya akan menjadi renta, dan yang hidup di dalamnya akan mati. Celakalah yang tertipu olehnya.

Di manakah penduduk yang dulu membangun kotanya? Apa yang diperbuat oleh tanah terhadap tubuh-tubuh mereka? Apa yang diperbuat cacing tanah terhadap tulang dan anggota badannya yang lain? Dulu mereka di dunia berada di tengah keluarga bahagia, di atas kasur empuk dan dikelilingi pembantu setia. Orang-orang memuliakannya.

Tetapi ketika semuanya berlalu, dan maut datang memanggil, lihatlah betapa dekat kuburan dengan timpat tinggalnya. Tanyakan kepada orang kaya, apa yang tersisa dari kekayaannya? Tanyakan kepada orang fakir, apa yang tersisa dari kefakirannya?

Tanyalah mereka tentang lisan, yang sebelumnya mereka gunakan untuk berbicara. Juga tentang mata yang mereka gunakan melihat hal-hal yang menyenangkan. Tanyakan tentang kulit yang lembut dan wajah yang menawan serta tubuh yang indah… apa yang dilakukan cacing tanah terhadap itu semua? Warnanya pudar, dagingnya dikunyah-kunyah, wajahnya terlumuri tanah. Hilanglah keindahannya. Tulang meremuk, badan membusuk dan dagingnya pun tercabik-cabik. Di manakah para punggawa dan budak-budak?

Di mana kawan… di mana simpanan harta benda? Demi Allah, mereka tidak membekali si mayit dengan kasur, bahkan tongkat untuk bertopang sekalipun. Padahal dahulu di rumah mereka merasakan kenikmatan. Kini ia tenggelam di bawah benaman tanah.

Bukankah siang atau malam tak ada bedanya bagi mereka? Tertutup kesempatan beramal. Mereka berpisah dengan kekasih dan keluarga. Istri-istrinya dinikahi orang lain. Anak-anaknya bebas bermain. Kerabatnya sibuk membagi-bagi rumah dan harta tinggalannya.
Diantara mereka, ada pula yang dilapangkan kuburnya. Diberi kenikmatan dan bersenang-senang dengannya di dalam kubur.

Umar (rahimahullah) lalu menangis dan berkata, “Wahai yang menjadi kubur esok hari, bagaimana dunia bisa menipumu? Di mana kafanmu… di mana minyak (wewangian untuk orang mati) mu, dan di mana dupamu? Bagaimana nanti ketika kamu telah berada dalam pelukan bumi.

Celakalah aku, dari bagian tubuh yang mana pertama kali cacing tanah itu melumatku? Celakalah aku, dalam keadaan bagaimana aku kelak bertemu dengan malaikat maut, saat ruhku meninggalkan dunia? Keputusan apakah yang diturunkan oleh Rabbku?

Ia menangis dan terus menangis, lalu pergi. Tak lebih dari satu pekan setelah itu, ia meninggal. Semoga Allah merahmatinya.

Dr. A’idh Al-Qarni, Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Uraifi, Syaikh Muhammad Husain Ya’qub. Malam Pertama di Alam Kubur. Aqwam Press. 2008. h37-9.

No comments:

Post a Comment