Monday, November 1, 2010

POLITIK VAGINA

Tubuh saya terasa berdesir seperti ada semilir angin yang terhimpun menjadi topan dan menghantam saya. Tapi, saya tidak terhuyung, meskipun limbung. Ini luar biasa. Tiba-tiba saja wajah perempuan yang ada dalam berita itu--yang diperkosa oleh ayah tirinya hingga melahirkan anak--terbayang jelas. Juga, bagaimana ia merintih, yang mengingatkan saya kepada salah satu novel Nh Dini. Saya dengar lirih suaranya, tak berani menolak ajakan ayah tirinya, tetapi tidak mau meladeninya. Ia takut. Ia gelisah. Ah wajahya, seperti wajah ribuan perempuan Bosnia yang diperkosa di arena peperangan Bosnia, yang diwawancarai Evi Ensler dan disusun menjadi buku, “Vagina Monologues”.

Tahun 2001, sebuah esai Katha Pollit, seorang feminis, berjudul, “The Vaginal Politics” terbit di The National Edisi 15 Februari 2001. Esai itu sebuah penegasan atas fenomena opera “The Vagina Monologues” yang dipentaskan di Madison Square Garden, dan beberapa kota besar dunia lainnya dalam rangka hari Wanita Internasional. Di Indonesia pementasan diprakarsai Nurul Arifin dan rekan-rekan aktivis feminismenya dari Koalisi Perempuan Indonesia. Bagi Pollit, pementasan itu sebuah fakta atas kematian feminisme. “The Vagina Monologues”, in fact, tulis Pollit, “was singled out in time’s 1998 cover story “Is Feminism Dead?” as proof that the movement had degenerated into self-indulgent sex”.

“The Vagina Monologues” diangkat dari buku hasil penelitian selama bertahun-tahun yang dilakukan Eva Ensler. Ensler sendiri menulisnya berdasarkan hasil wawancara setelah mengumpulkan fakta tentang pemerkosaan ribuan perempuan di medan peperangan Bosnia-Herzigovina. Inilah medan peperangan yang ingin dibah sebagai “penjagalan salah satu ras manusia diatas bumi”, karena setiap perempuan Bosnia diperkosa agar hamil sehingga lahir keturunan blasteran. Sementara para laki-laki dibnatai dan dikubur dalam satu liang tanpa upacara kematian dan tanpa doa apapun.

Judul buku Ensler itu mengundang magis kata yang sangat feminisme. Sebuah kata tabu dalam pembicaraan formal, terutama bagi tata nilai masyarakat timur. Tapi, judul itu sendiri sudah berkomentar, membawa maknanya yang jamak. Sebuah diksi yang kaya. Yang menegaskan, buku ini akan menjadi sebuah karya yang laris, yang laku. Sebab, persoalan yang dibahasnya menjadi sangat universal.

Ensler adalah seorang artis berdarah Italia. Ia membaca dan mendengar soal pembantaian ras manusia di Bosnia dengan cara memperkosa para perempuan, dan ia sangat terpukul. Lalu, tiba-tiba terpikir olehnya, bahwa pokok persoalan di Bosnia adalah “raga” pada setiap perempuan, yakni vagina. Dari sanalah penulisan itu berangkat. Dan Ensler berangkat ke berbagai negeri, yang terpokok soal perang Bosnia-nya sendiri, dan memperluas daerah wawasan penyelidikannya. Lebih 200 wanita dengan usia, profesi, jenis bangsa, yang terpokok di kalangan wanita Bosnia sendiri, diwawancarainya. Selain itu diwawancarainya wanita dari berbagai kalangan di Eropa, Amerika, asia, dan Afrika, dengan tema yang sama mengenai pelecehan, pekosaan, dan penindasan terhadap wanita.

Dari hasil wawancara dan berbagai riset dan penyelidikannya inilah, ditulisnya buku berjudul Vagina Monologues. Dan, ternyata, buku itu mendapat sambutan meriah di seluruh dunia. Apa yang paling menarik dari isi cerita buku itu?

Dari begitu banyak riset dan penyelidikan serta wawancara terhadap wanita, termasuk yang kena perkosaan pada perang Bosnia itu, dia merangkum apa sebenarnya hakekat “raga” yang “dibantai” oleh pemerkosa yang samasekali tak berhati manusia itu. Dalam dialog antara “raga” (pengganti istilah vagina), terbentuklah dan lahirlah dialog dari berbagai situasi tentang “raga” itu. Bahwa, raga ini janganlah hanya dilihat dari satu segi saja. Bukankah semua kita, termasuk yang sedang membaca tulisan ini, lahir dan keluar dari raga itu? Jadi, ketahuilah, raga ituu mengandung suatu kesucian, kesakralan, dan sudah seharusnya ditempatkan pada posisi yang atas, tinggi, berharga sangat.

Diceritakan juga dalam dialog antara “raga” itu, terdengar jeritan keperihan, ketertindasan, kekerasan, kebiadaban, dan tangis yang mengiris-ngiris perih! Tetapi juga terdengar lahirnya bayi yang bersih dari dosa, tiba dan hadir ke dunia ini, atas buah cinta kasih antara Ayah dan Bunda si bayi itu, penuh kemesraan. Apakah perlakuan diri manusi lupa akan semua itu? Ketahuilah “raga” yang “kalian” perkosa itu, dari situlah kalian lahir dan menjadi “kalian” yang kini ini!

Di Indonesia, apa yang dipentaskan Nurul Arifin bersama rekan-rekan sesama aktivis feminisme, tak banyak yang melihat opera ini seperti Pollit membuat sebuah simpul. Tapi, sejak itu, satu hal yang bisa ditangkap adalah kaum perempuan mulai meletakkan gerakan de-feminisme di Indonesia. Sebuah gerakan “Politik Vagina” sebagai wujud kemuakan terhadap feminisme. Perempuan Indonesia tidak percaya lagi gerakan kesetaraan gender yang telah berlangsung cukup lama di Tanah air akan mampu mewujudkan emansipasi antara perempuan dengan laki-laki. Karena komitmen sosial para aktor pemerintahan dan elite politik untuk mewujudkan tatanan sosial-politik yang adil dan demokratis di mana gerakan kesetaraan gender inheren di dalamnya, tidak pernah bergeser dari nilai-nilai warisan leluhur budaya Timur yang lebih memberi peran kepada laki-laki sebagai “kepala rumah tangga”.

Makanya, daripada mengaharapkan feminisme—yang dalam banyak hal membentur sekat-sekat sosio-kultural di lingkungan masyarakat—sebagai gerakan sosial memperjuangkan hak dan keadilan bagi kaum perempuan, perempuan satrawan lebih memilih “membunuh” gerakan itu sebagai wujud pemberontakan atas nilai-nilai yang berlaku secara turun-menurun, lewat gerakan “Politik Vagina”.

“Politik Vagina” merupakan gerakan untuk mempersoalkan seks bukan semata sebagai persoalan seksualitas, karena seks bukan dunianya kaum laki-laki. Hal ini diwujudkan lewat citra perempuan sebagai sosok-sosok yang begitu kuat, gelisah, mandiri, radikal, memberontak, dan tak terlalu pusing dengan nilai-nilai kewanitaannya. Mereka tidak merasa risih bicara soal seks dengan siapa saja, bahkan dengan laki-laki yang baru dijumpai di sebuah terminal dan belum dikenal secara akrab. Karena seks tidak ada sangkut-pautnya dengan moralitas, melainkan soal orgasme.

Di dalam dunia kesusastraan kita, akar gerakan “Politik Vagina” ini, sebetulnya, suah ditemukan dalam puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany, terutama dalam antologinya, “Kill The Radio”. Tapi, gerakan ini baru menemukan eksistensinya dalam diri Ayu Utami, ketika ia menghasilkan novel “Saman”. Belakangan, karya-karya perempuan sastrawan lainnya bermunculan, sebut saja Clara Ng, Fira Basuki, Herlinatien, Oka Rusmini, Djenar Mahesa Ayu, Dewi Lestari, dan sebagainya.

Bagi Pasanti Djokosujatno, Ayu Utami dianggap sebagi pelopor penulisan novel seks, dan harus disebut dalam setiap pembicaraan tentang seks dalam sastra. Ia bukan hanya wanita pertama yang berani berbicara secara blak-blakan tentang seks dalam romannya yang radikal, pada saat banyak orang masih sungkan berbicara tentang seks, tetapi juga pengarang pertama yang menulis novel yang mengungkap seks dengan berbagai permasalahannya (menyangkut wanita pula) secara terbuka.

Tapi, meskipun demikian, agama punya aturan main sendiri soal emansipasi. Persoalannya, manusia, tidak pernah sanggup menganggap nilai-nilai dan ajaran agama itu sebagai fakta yang sebenarnya. Sebab, agama selalu diposisikan sebagai hal irasional, padahal agama mencakup segala hal rasional, irasional, dan spiritual di dalamnya. Semoga para perempuan Indonesia tidak salah memilih jalan.

No comments:

Post a Comment